Social Icons

Pages

Sunday, May 30, 2010

SANG KEKASIH

Menyulam terang dan terbang,

siang pun sudah tertera dan burung bersayap.

Gunung dan mendung telah bersahabat,

bagai nada dan lagu berirama.

Lalu panas menyusut menjadi senja,

tak perlu lagi hati meradang suarakan kepiluan,

di sana Kekasih kirimkan kehangatan dari bilik lain.

Malam mengembang suarakan rindu,

dalam senyap ada kepasrahan,

lalu wajah pecah di depan kaca cermin,

hanya pantulannya saja bawa sakit,

Sang Kekasih hantarkan nikmat dari bilik lain sebuah hati.

—):(—

Pipit diam mendengarkan celoteh putrinya tentang teman remajanya yang beberapa mulai menyukainya. Sesekali dibunyikannya klakson untuk memberi peringatan pada pengendara lain yang lengah. Sengaja tak ingin mengganggu cerita putrinya agar dirinya tak perlu lagi kebingungan menjawab pertanyaan demi pertanyaan putrinya tentang ke mana dan mengapa Papanya pergi dari rumah mereka.

Keluar dari tol Pipit mengarahkan mobilnya ke jalanan kecil di sepanjang kolong jembatan, mencari tempat aman untuk memarkir mobilnya. Beberapa pasang mata tajam dan penuh kecurigaan menatapnya waspada.

Mau ngapain Mama ke sini?” tanya Harum, putrinya heran.

Harum turun dulu, nanti Mama jelasin,” jawab Pipit sambil tersenyum.

Tapi sekolahnya?

Sebentar saja, masih ada waktu satu jam.

“Enggak ah. Takut Ma,” jawab Harum dengan wajah ketakutan.

Matanya mengitari pemandangan di sekitarnya dengan sorot mata ketakutan. Gubuk-gubuk reot tidak lagi layak sebagai tempat tinggal, tatapan mata menyala dari penghuninya yang lalu lalang di sana dan pemandangan yang tak pernah dibayangkannya sebelumnya, membuat gadis kecil itu tak bergeming dari duduknya. Pipit tersenyum dan segera turun dari mobil.

Lihat kan? Mama sudah turun dari mobil dan tidak apa-apa. Ayolah, katanya tadi malam Harum pingin jalan-jalan?

Jalan-jalan seperti biasanya Ma, bukan ke sini. Masa jalan-jalan ke tempat seperti ini? Lagi pula Harum maunya jalan-jalan sama Papa.

Harum, Mama ingin menunjukkan sesuatu padamu, setelah itu Mama janji kita jalan-jalan seperti biasa. Harum mau ke mana akhir pekan ini?

Ke toko buku.

Siap Nona Cantik, Sabtu besok Mama antar ke toko buku.

Sama Papa?

Pipit menjawab dengan senyuman. Hatinya berdesir perlahan namun terasa nyerinya menghunjam. Harum dengan ragu turun dari mobil, erat menggenggam tangan Pipit. Di dekat tiang beton mereka duduk bersebelahan. Harum merapatkan tubuhnya pada lengan Pipit, memandang sekitar dengan ragu. Pipit memeluk pundaknya dengan lembut. Dipanggilnya pedagang asongan cilik yang sedang melintas di depan mereka.

Harum mau minum apa?

Itu sehat Ma?” tanya remaja kecil itu ragu.

Ini, Harum lihat ya. Minuman ini sama dengan yang dijual di super market, baik kemasan maupun mereknya. Tidak usah kawatir, yang penting tanggal kadaluarsanya tidak lewat,” jelasnya.

Perlahan tangan Harum terulur, memilih minuman dalam wadah yang segera disodorkan padanya. Pedagang asongan kecil itu tersenyum lega melihat Harum memilih dagangannya. Tak lama seorang pedagang lain menghampiri dan menawarkan dagangannya.

Kasihan orang-orang ini ya Ma,” gumam Harum hampir berbisik.

Ya. Kasihan. Syukurlah Harum masih merasakan itu.

Harum menatap seorang gadis kecil sedang mengamen di depan sebuah mobil. Bukan uang receh yang didapatkan gadis kecil itu, tetapi hentakan mobil pengendaranya dengan dibarengi kibasan tangan. Pipit mengikuti pandangan putrinya, lalu memanggil gadis pengamen itu untuk mendekat.

Bersediakah kamu menyanyikan lagu untuk kami?” tanya Pipit.

Mau Tante. Mau sekali, tapi dibayar ya?” jawab gadis itu lugu.

Tentu saja sayang,” jawab Pipit sambil tertawa renyah.

Segera gadis kecil itu dengan bersemangat menyanyikan lagu Kasih Ibu. Tak lama gadis itu berlari kegirangan mendapatkan lembaran sepuluh ribu dari Pipit. Seorang perempuan tua mendekati mereka sambil berlinang air mata.

Terima kasih Nyonya, Anda baik sekali,” menganggukkan kepalanya.

Ibu apanya gadis itu?” tanya Pipit sopan.

Saya Ibunya. Ayahnya pergi entah ke mana sejak putri saya itu masih berumur dua tahun.

Pipit tak dapat mengucapkan sepatah kata pun sampai perempuan tua itu berlalu menyusul putrinya. Sementara Harum semakin tertegun dengan situasi di hadapannya. Sambil menunduk gadis itu berkata lirih, “Harum nggak jadi ke toko buku Ma.

Kenapa?” tanya Pipit hampir dapat membaca pikiran putrinya.

Belum terlalu perlu Ma. Nanti saja kalau Papa pulang.

Pipit tersenyum semakin lembut sambil mendekap tubuh putrinya dengan penuh rasa sayang dan syukur. Dibelainya kepala Harum dengan air mata hampir tak dapat ditahannya. Matanya menengadah memohon agar dirinya tidak menangis di depan putrinya. Agar dapat ditepisnya segala kerikil di hati yang kelak akan menahan langkahnya menggapai CINTA Sang Kekasih.

Kit Rose, 5 April 2010

No comments:

Post a Comment